Kabarberitanews.co.id ~ Bogor
Secara kebijakan, Indonesia mempunyai opsi untuk memberikan rehabiltasi bagi Pengguna Narkotika dan seharusnya tidak selalu untuk dipenjara, hal ini dipertegas dengan frasa diwajibkan untuk direhabilitasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) yang menyebutkan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Kepada Kabarberitanews,koordinator Bantuan Hukum Aksi Keadilan Indonesia ( AKSI ) yang terletak Jl. Kol. Enjo Martadisastra No 24 RT 02 RW 12 Kedung Badak Tanah Sareal Bogor, Bambang Yulistiyo di ruang kerjanya, 29/12, mengatakan jika putusan Majelis Hakim masih jauh dari rasa keadilan dan kemanusiaan. Padahal menurut World Health Organization (WHO), adiksi merupakan sebuah penyakit. Sayangnya, Aparat Penegak Hukum (APH) kita belum memiliki prespektif yang sama dalam memandang adiksi dan pengguna narkotika.
Akibatnya, APH masih sering mengirimkan seseorang yang membutuhkan pertolongan medis ke dalam penjara dibanding layanan kesehatan. Padahal penjara kita saat ini sedang mengalami overcrowding penjara yang sudah parah lanjut Bambang.
Kemudian Kuasa hukum AKSI Muhammad Irwan, SH. berpendapat jika keputusan Majelis Hakim terlalu sempit dalam menjatuhi putusan terhadap klien kami, dimana Majelis Hakim menjadikan unsur menerima, dan menguasai narkotika dijadikan dasar untuk mempidanakan klien kami. Padahal fakta persidangan terungkap jika klien kami tertangkap pada saat mau menggunakan shabu, jelas Secara Mens Rea (niat batin) klien kami menguasai shabu (untuk digunakan bagi dirinya sendiri), secara logika, bagaimana mungkin klien kami dapat menggunakan shabu tanpa harus menerima dan menguasai narkotika tersebut.
Berdasarkan hal ini Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) menyatakan banding terhadap putusan tersebut agar diuji kembali oleh Majelis Hakim Tingkat Tinggi (Pengadilan Tinggi Bandung). Sebab terdapat beberapa bukti yang seharusnya menguatkan posisi klien kami untuk mendapatkan putusan rehabilitasi disamping putusan penjara. Salah satunya adalah proses asesmen terpadu yang dilakukan Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Bogor kepada klien kami yang dilakukan pada 11 Agustus 2021, Asesmen ini dilakukan berdasarkan Peraturan Bersama 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi yang ditandatangi oleh kepala 7 lembaga negara. Assesmen tersebut memberikan kesimpulan jika klien kami hanyalah pengguna narkotika ringan. Hal ini dapat dilihat dari barang bukti yang didapati dalam keterangan pemeriksaan Kepolisian, dimana klien kami memiliki narkotika (jenis Shabu) dibawah angka gramatur, yakni dengan berat netto 0,3491 gram. Jika melihat peraturan lainnya yakni Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 tahun 2010, bahwa barang bukti klien kami masuk kedalam kategori narkotika di bawah gramatur, selain itu tidak ada fakta yang membuktikan bahwa Klien Kami terilibat dalam peredaran gelap narkotika.
Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) berharap kepada Pengadilan Negeri Kota Bogor Untuk:
1. Aparat Penegak Hukum khususnya Lembaga Yudikatif dibawah lingkup Mahkamah Agung tidak lagi mudah menjatuhi vonis penjara terhadap tersangka pengguna narkotika maupun korban penyalahguna narkotika yang terjerat dalam pasal-pasal yang dianggap sebagai "pasal karet". Sebab hal itu dapat melanggar hak asasi mereka yakni hak atas kesehatan.
2. Kami memohon Majelis Hakim Pengadilan Tinggi kedepannya dapat melihat fakta-fakta temuan dilapangan sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen hukum yang sudah dilampirkan secara cermat. Sebab pengguna narkotika atau dalam hal ini klien kami merupakan seorang korban dari peredaran gelap narkotika pungkas Bambang.
~ Didiet, Dewa ~